“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai suara rakyatnya.”Adi Warman.
Vonistipikor.net, JAKARTA- Catatan Akhir Pekan Adi Warman
Dari Jalanan
Suasana jalanan di sejumlah kota akhir Agustus lalu memperlihatkan wajah lain demokrasi kita. Spanduk, poster, dan orasi bergemuruh, tapi yang paling meninggalkan jejak adalah satu jargon: 17+8 Tuntutan Rakyat. Ia lahir bukan dari meja rapat politik, melainkan dari keresahan kolektif—mahasiswa, buruh, organisasi sipil, hingga warganet.
Isi Tuntutan
Angka itu sederhana, tapi sarat simbol. Tujuh belas tuntutan jangka pendek berisi desakan yang mendesak: hentikan kekerasan aparat, tarik TNI dari ruang sipil, batalkan kenaikan gaji DPR, pastikan upah layak. Delapan tuntutan lainnya adalah agenda panjang: reformasi DPR, penguatan KPK, perombakan Polri dan TNI, sampai evaluasi kebijakan ekonomi. Dari jalanan, suara itu mencoba menembus tembok kekuasaan.

Respons Negara
Pertanyaannya: bagaimana respons negara? Hingga kini, sebagian tuntutan dijawab dengan klarifikasi normatif, sebagian lain menguap tanpa kepastian. Padahal rakyat menunggu tindakan nyata, bukan sekadar pidato. Demokrasi memang memberi ruang berbeda, tapi tanpa kemauan politik untuk mendengar, suara itu bisa berubah menjadi bara.
Ujian Demokrasi
“17+8” pada akhirnya bukan hanya daftar keinginan. Ia adalah alarm keras bahwa reformasi belum selesai. Bahwa rakyat menuntut partisipasi, transparansi, dan keberpihakan. Di titik inilah kualitas demokrasi diuji: apakah pemimpin melihat suara rakyat sebagai gangguan, atau justru menjadikannya kompas.
Jalan Tengah
Sejarah membuktikan, bangsa ini selalu tumbuh ketika pemimpinnya berani membuka telinga. Dari jalanan menuju meja dialog, Indonesia butuh kepemimpinan yang berjiwa besar—agar demokrasi tidak sekadar prosedur, tetapi benar-benar rumah bersama.-**
